"It does not do to dwell on dreams and forget to live."

Roti. Currently 14. Breathing beneath the Hufflepuff pennant. Socially awkward, can be blunt and sarcastic sometimes. Hugs and books keep me sane. Perfection are Harry Potter and Percy Jackson.
twitter . tumblr

[+] Follow Affies

Posted on: Sep 27, 2012 @ 10:10 PM | 0 comment(s)
yesterday memory



Aku masih ingat suara spidol yang ditorehkan ke papan tulis yang berdecit mengganggu ketika aku mencoba untuk tidur di tengah pelajaran.

Udara yang dihembuskan pendingin ruangan begitu sejuk sehingga aku merasa dibelai oleh sebuah tangan yang terbuat dari embun pagi, yang membuatku terkantuk-kantuk bahkan pada saat guru kesayanganku tengah mengajar di depan kelas. Aku ingat bagaimana teriakan-teriakan mengadu dari sisi kanan dan kiriku bahwa aku telah tertidur malah justru membangunkanku, yang kemudian disusul oleh tawa menggelegar dari seluruh kelas. Lalu berpasang-pasang mata itu memandangku, ada yang mengernyit, tetapi masih tertawa. Aku ingat sebuah warna yang menyerbu penglihatanku begitu aku membuka mataku, warnanya biru, bersisian dengan langit yang tersepuh cahaya matahari musim itu.

“Bangun, hoi! Memangnya mimpi apa, sampai ngiler begitu...” tawa menggelegar lagi ketika kalimat itu dilontarkan, tetapi aku hanya tersenyum masam saat itu.

Aku masih ingat semuanya tentang kelas itu, dan aku sadar betapa aku merindukan atmosfernya.
Dindingnya tertutup rapat dengan cat berwarna biru. Bukan layaknya mozaik kaca, tidak pula seangkuh safir. Bukan biru laut yang memendam banyak misteri, dan tidak seterang kelihatannya biru langit yang bersembunyi di balik gumpalan awan. Birunya adalah sesuatu yang mengkilap—dan bersih, begitu halus, yang mengingatkanku pada senyuman-senyuman yang terukir di seluruh penghuninya. Masih jernih di dalam benakku akan lantainya yang bersih, kendatipun begitu kau juga bisa melihat ada satu ubin yang terbelah menjadi beberapa serpih. Serpihan itulah yang nantinya akan ditulisi berbagai macam rahasia-rahasia penghuninyatermasuk akulalu kami akan meletakkannya kembali dan bertingkah seperti tidak ada yang terjadi.

“Tulis, tulis apa saja! Nanti taruh lagi di sini. Siapa tahu kalau kita sekelas lagi nantisiapa tahu tulisan-tulisan kita masih ada!”

Tetapi hatiku selalu mencelos tiap kali mengingat sebuah lemari kaca di belakang kelas, yang dicekcoki berbagai macam rongsokan tak berartidari mulai gelas bekas, hasil karya yang lupa dikumpulkan, hasil ulangan bernilai jelek sampai karton berwarna yang kami gunakan untuk mendukung kelas kami pada saat classmeeting, semuanya ada di situ. Berantakan, memang, berkali-kali kami dimarahi oleh wali kelas kami, tapi ke depannya kami hanya akan tertawa. Kami seolah begitu hidup ketika menjejakkan kaki ke dalam kelas tersebut, seperti ada yang menyuruh kami untuk mengangkat kepala kami dan tersenyum. Masalah datang dan pergi secara bergilir, tetapi kami tidak peduli. Sebab ini bukanlah mengenai banyaknya perselisihan yang terjadi di antara kami, melainkan bagaimana kami berupaya untuk tetap menyatukan kelas ini.

Namun, itu terjadi ketika garis bordiran yang ada pada dasi kami masih berjumlah dua, sementara kami memiliki tiga garis sekarang. Kelas itu masih menjadi kelasku untuk sekarang ini, tetapi semuanya begitu berbeda.

Sekarang, setiap kali aku mendongak dan menatap langit-langit kelas ini, ada perasaan familier yang kudapat. Semacam perasaan yang kadang bisa diasosiasikan dengan sorakan riuh kami ketika tahu bahwa ulangan dibatalkan, atau ketika pendingin ruangan kembali menyala setelah berjam-jam mati. Semacam perasaan yang mengingatkanmu akan suatu penggal di masa lalu—ketika itu kau merasa lebih bahagia dari yang bisa kau rasakan. Semacam perasaan yang selalu membuatku teringat akan—

(—warna cat biru, pekikan anak perempuan yang bergosip, kikikan anak laki-laki, dan senyuman yang selalu bisa diandalkan.)

—sesuatu yang begitu berharga.

Back to top


Copyright ©. Layout by SekarYoshioka. Header : Pixiv and edited by SekarYoshioka. Please view it with Google Chrome 1024*768. All rights reserved.